BAB I
SEJARAH KEPANDUAN DI INDONESIA
A. KEPANDUAN
Kepanduan
sebagai bentuk gerakan pemuda-pemudi menurut anggapan umum didirikan
tahun 1908 oleh Lord Robert Baden Powell yang dihormati sebagai Bapak
Kepanduan Sedunia. Tujuan : pembangunan mental, moral dan jasmaniah dan
latihan-latihan untuk menjadi warga negara yang baik.
Tetapi
sifat gerakan kepanduan putra pribumi di Indonesia (sebagai tanah
jajahan) tidaklah sama. Kepanduan Indonesia menyimpan pengaruh
pergerakan (kemerdekaan) nasional umum. (N.I.P.V.) Nederlandsch Indische
Padvinders Vereeneging ialah perhimpunan kepanduan di Hindia Belanda di
bawah pimpinan dan mayoritas golongan Belanda (didirikan tahun 1917).
Kepanduan bangsa Indonesia, dengan sendirinya, mengikuti arah
perkembangan cita-cita nasional.
J.P.O.
(Javansche Padvinders Organisatie), perhimpunan kepanduan Indonesia
yang pertama (1916) bermaksud pula menjadi tempat pembibitan
(ketentaraan Mangkunegaran). Setelah tahun 1920 timbul banyak sekali
kepanduan Indonesia sebagai cabang (onderbow) perkumpulan-perkumpulan
orang dewasa, unsur politik nasional terkandung di dalamnya. PKI
terutama di Semarang, membentuk kepanduan beranggotakan murid-murid dari
sekolah-sekolah rakyat. Banyak timbul kelompok-kelompok kecil kepanduan
yang berhubungan dengan PKI. Perhimpunan-perhimpunan lain pun tak
ketinggalan. Algemene Studie Club dengan N.P.O.-nya (Nationale
Padvinders Organisatie); SI dengan SIAP (Serikat Islam Afdeling Pandu);
MUHAMMADIYAH mempunyai HIZBUL WATHAN; Budi Oetomo membentuk Nationale
Padvinderij; J.J. dengan J.J.P.-nya (Jong Java Padvinderij, kemudian
menjadi Pandu Kebangsaan); Jong Islamiten Bond dengan Napity (Nationale
Islamitische Padvinderij); Pemuda Indonesia dengan INPO (Indonesische
Pemuda Sumatera); kaum teosof menggerakkan J.I.P.O. (Jong Indonesische
Padvinders Organisatie); PBI dengan Surya Wirawan. Taman Siswa
mendirikan Siswa Proyo; ada pula Al-Kasyaf wal Fajri.
Dalam
tahun 1927 di bawah pimpinan Sunario, SH dibentuk Persaudaraan Antar
Pandu Indonesia (PAPI), tanda hasrat persatuan yang hidup dan berkembang
di kalangan kaum terjajah. Bertambah banyaknya kepanduan Indonesia
menarik perhatian (yang mengandung kekhawatiran) N.I.P.V. Anggaran
Dasarnya dilonggarkan (1928) dengan maksud agar kepanduan-kepanduan
Indonesia suka menggabungkan diri dengan N.I.P.V. Hanya J.I.P.O. yang
menggunakan kesempatan itu. Lain-lainnya tetap di luar, berkembang ke
arah cita-cita Indonesia Bersatu. Badan federasi yang pertama terbentuk
PAPI. Selaras dengan perkembangan perkumpulan-perkumpulan pemuda yang
mengadakan fusi (1929) PAPI pun tidak bertahan. Diadakan konperensi
pengurus-pengurus besar kepanduan Indonesia 15 Desember 1929. Diputuskan
dalam prinsip mengadakan dua badan fusi : KEPANDUAN NASIONAL dan
KEPANDUAN ISLAM. (*selanjutnya KEPANDUAN BANGSA INDONESIA – KBI).
Dalam
masa pendudukan Jepang semua orgsnisasi kepanduan tidak diperbolehkan;
diganti dengan bentukan seperti Seinendan, Keibondan dan lain-lainnya,
(PERGERAKAN INDONESIA – JEPANG*).
Sejak
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pergerakan kepanduan Indonesia hidup
kembali dan berkembang menanjak. Dalam, tahun 1954 tercatat tujuh puluh
satu (71) organisasi kepanduan dengan jumlah anggota lebih kurang
seratus sembilan puluh empat ribu (=194.000) pandu putra dan empat puluh
satu ribu (=41.000) pandu putri. Menurut jumlah anggotanya HIZBUL
WATHAN menduduki tempat paling atas, disusul berturut-turut oleh Anshor,
Pandu Rakyat Indonesia, KBI, Pandu Islam Indonesia dsb. Banyaknya
perkumpulan kepanduan memerlukan badan kerjasama dan koordinasi yang
terwujud dengan pembentukan Ipindo (Ikatan Pandu Indonesia, 16 September
1951). Jambore Nasional pertama diadakan pada hari peringatan sepuluh
tahun Indonesia Merdeka (17 Agustus 1955) di Karang Taruna – Pasar
Minggu, Jakarta, yang diikuti dari berbagai suku bangsa Indonesia.
Ipindo dalam bulan Mei 1960 direorganisasi dan diganti nama PERKINDO
(Persatuan Kepanduan Indonesia). Sejak tahun 1961 semua organisasi
Kepanduan di Indonesia diganti dengan satu nama yaitu Pramuka singkatan
dari Praja Muda Karana.
B. KEPANDUAN BANGSA INDONESIA (KBI)
Konperensi
pengurus besar kepanduan-kepanduan Indonesia (Desember 1925) – setelah
usaha-usaha yang terdahulu tidak membawa hasil – memutuskan dalam
prinsip menyetujui pembentukan badan fusi kepanduan. Sebagai kelanjutan
didirikan Komisi Besar (Februari 1930) yang mempersiapkan rencana
organisasi persatuan kepanduan nasional. Asas-asas kepanduan dunia
(mengajarkan permainan, memperluas perasaan, pikiran, dan tabiat,
mendidik warga negara yang baik yang bekerja untuk rakyat dan tanah air,
dsb.) akan diikuti dan disesuaikan dengan adat-istiadat dan kepribadian
bangsa Indonesia yang bercita-cita mencapai Indonesia Merdeka.
Setelah
rencana-rencana disetujui oleh perkumpulan-perkumpulan yang
bersangkutan, maka berdirilah KEPANDUAN BANGSA INDONESIA (KBI, awal
1931). Badan fusi ini mulai melangkah dengan lima puluh tujuh (=57)
cabang. KBI berdiri sendiri, terlepas dari INDONESIA MUDA sebagai badan
fusi perhimpunan-perhimpunan pemuda. Pandu KBI mengenakan kain leher
Merah Putih yang juga menjadi warna panji-panjinya. Seperti juga
perkembangan dalam pergerakan pemuda, di luar KBI masih banyak
(gabungan) perkumpulan-perkumpulan kepanduan lain, yang telah ada dan
yang timbul baru. Kepanduan-kepanduan yang berasaskan Islam (Hizbul
Wathan, SIAP, Napity, Al-Kasyaf wal Fajri) membentuk federasi. Dalam
tahun 1933 didirikan Kepanduan Rakyat Indonesia yang dalam penangkapan
tahun 1935 ikut terlibat. Meskipun demikian, keinsyafan akan perlunya
persatuan tetap hidup. Usaha-usaha ke arah itu dijalankan dan berhasil
pula. *BADAN PUSAT PERSAUDARAAN KEPANDUAN INDONESIA (BPPKI)
- BADAN PUSAT PERSAUDARAAN KEPANDUAN INDONESIA (BPPKI)
Federasi
kepanduan didirikan bersama oleh KBI, SIAP, Napity dan Hizbul Wathan
(April 1938). Diputuskan akan mengadakan perkemahan besar umum dengan
mengajak serta kepanduan-kepanduan di luar federasi. Perundingan
mengenai hal itu, yang diperlukan diadakan dengan pengurus besar
berbagai perhimpunan kepanduan (Desember 1938).
Sementara
itu usaha untuk menarik lebih banyak perkumpulan kepanduan ke dalam
federasi terus djalankan dan berhasil. Pada tgl. 10 Februari 1941
berlangsung konperensi kepanduan di Solo yang mengambil berbagai
keputusan, antara lain dinyatakan bahwa badan federasi terbuka untuk
semua kepanduan Indonesia; perkemahan akan diselenggarakan pada bulan
Juli 1941 dan dinamakan Perkemahan Kepanduan Indonesia Umum;
kepanduan-kepanduan yang bergabung dalam N.I.P.V. (Nederlandsch Indische
Padvinders Vereeneging).
D. GK – HIZBUL WATHAN
Dari
ENSIKLOPEDI UMUM (1962/1967-1971/1973 – Kanisius, Yogyakarta) dapat
dikutip dan diangkat kesaksian dan pernyataan sejarah sebagai berikut: “
MUHAMMADIYAH sejak berdirinya maju pesat; jumlah anggotanya naik
cepat. Berhasil mendirikan banyak rumah sekolah, memberikan
kursus-kursus agama, mendirikan poliklinik, perumahan anak yatim-piatu,
dll. Pengajaran modern untuk anak-anak perempuan sangat diperhatikan.
Bagian wanitanya AISYIYAH, berdiri sendiri. Gerakan pemudanya ialah
Kepanduan HIZBUL WATHON.”
Pernyataan
dan kesaksian sejarah Hizbul Wathan juga terukir di dalam ENSIKLOPEDI
ISLAM (Jilid-2, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994) sebagai berikut, “HIZBUL
WATHAN (Arab=pembela tanah air), nama barisan pandu (sekarang pramuka)
Muhammadiyah. Hizbul Wathan berazaskan: 1) Agama Islam dengan maksud:
(a) Memasukkan pelajaran agama Islam dalam Undang-Undang dan Perjanjian
Hizbul Wathan dan dalam syarat mencapai tingkat kelas; (b) Memperdalam
dan meresapkan jiwa Islam dalam latihan kepanduan dan memajukan amal
ibadat sehari-hari; 2) Ilmu Jiwa, yang dipakai dalam kegiatan belajar
dan bermain; 3) Kemerdekaan dalam bekerja dan latihan. Tujuan dan maksud
Hizbul Wathan adalah membimbing anak-anak dan pemuda supaya kelak
menjadi orang Islam yang berarti.”
HIZBUL
WATHAN pada mulanya adalah nama madrasah yang didirikan oleh KH. Mas
Mansur di Surabaya pada tahun 1916 setelah ia meninggalkan organisasi
Nahdatul Wathan yang dibentuknya bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah.
Muhammadiyah
mengambil nama itu menjadi perkumpulan pandunya yang didirikan pada
tahun 1918 di Yogyakarta. Gagasan pembentukan barisan kepanduan Hizbul
Wathan dalam Muhammadiyah muncul dari KH. Ahmad Dahlan sekitar tahun
1916 ketika beliau kembali dari perjalanan tabligh di Surakarta pada
pengajian SAFT (Sidiq, Amanah, Fathonah, Tabligh) yang secara rutin
diadakan di rumah KH. Imam Mukhtar Bukhari. Di kota tersebut beliau
melihat anak-anak JPO (Javansche Padvinders Organisatie) dengan pakaian
seragam sedang latihan berbaris di halaman pura Mangkunegaran.
Sesampainya di Yogyakarta, beliau membicarakannya dengan beberapa
muridnya, antara lain Sumodirjo dan Sarbini, dengan harapan agar pemuda
Muhammadiyah juga dapat diajar tentang kepanduan guna berbakti kepada
Allah Swt. Sejak pembicaraan itu mulailah Sumodirjo dan Sarbini merintis
berdirinya di dalam Muhammadiyah. Kegiatan pertama banyak diarahkan
pada latihan baris-berbaris, olah raga, dan pertolongan pertama pada
kecelakaan. Pada setiap Ahad sore para peserta dilatih dengan
kegiatan-kegiatan di atas, pada malam Rabu mereka diberikan bekal
keagamaan. Dari cikal bakal itu lahirlah Hizbul Wathan pada tahun 1918,
pada waktu itu bernama Padvinder Muhammadiyah. Kemudian, karena dianggap
kurang relevan, atas usul H. Hadjid nama itu ditukar menjadi Hizbul
Wathan.
Susunan
pengurus dan personalianya yang pertama adalah: Ketua H. Mukhtar
Bukhari, Wakil Ketua H. Hadjid, Sekretaris Sumodirjo, Keuangan Abdul
Hamid, Organisasi Siraj Dahlan, Komando Sarbini dan Damiri. Untuk
memajukan Padvinder Muhammadiyah ini, para pengurus mengambil pedoman
pelajaran dari JPO Surakarta.
Setelah
tahun 1924 Hizbul Wathan berkembang di Jawa, bahkan telah dapat
melebarkan sayapnya ke luar Jawa. Cabang-cabang baru Hizbul Wathan kian
banyak berdiri. Cabang pertama yang berdiri di luar Jawa ialah di
Sumatra Barat, yang dibawa oleh wakil-wakil yang menghadiri Kongres
Muhammadiyah ke-17 di Yogyakarta pada tahun 1928. Dalam kesempatan itu
wakil-wakil tadi tinggal beberapa lama di Yogyakarta setelah Kongres
usai guna mempelajari dan ikut latihan kepanduan; dengan modal itu
mereka mengembangkan kepanduan di daerah yang mengutusnya.
Peranan
Hizbul Wathan banyak terlihat pada sektor penanaman semangat cinta
tanah air kepada para pemuda. Dari benih-benih itu menjelmalah kekuatan
yang bertekad ikut serta dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
Di samping itu, latihan-latihan kepanduan mempunyai andil yang besar
dalam melatih kader-kader bangsa dalam menghadapi kaum kolonial yang
sedang mencengkeramkan kukunya di Indonesia. Latihan-latihan itu
ternyata membuahkan hasil yang baik di kalangan pemuda. Dari barisan
Hizbul Wathan ini muncul sederetan tokoh yang cukup handal, seperti
Sudirman, KH. Dimyati, Surono, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar
Muzakkir, Kasman Singodimedjo, Adam Malik, Suharto, M. Sudirman,
Sunandar Priyosudarmo, dan lain-lain. (Ensiklopedi Islam, I.B. Van
HOEVE, Jilid II, hal. 119-120)
Ketika
Jepang masuk, secara organisatoris Hizbul Wathan lebur, sesuai dengan
kehendak Jepang yang membubarkan segenap organisasi yang ada pada waktu
itu. Meskipun demikian, aktivis-aktivis Hizbul Wathan tetap berkiprah
dalam organisasi-organisasi yang didirikan oleh Jepang seperti
Keibondan, Seinendan, PETA, Hizbullah, dan sebagainya.
Dalam organisasi-organisasi tersebut malah para anggota Hizbul Wathan memegang peranan yang penting.
Setelah
Kemerdekaan Indonesia, para pemuda banyak diarahkan untuk memperkuat
persatuan dan kesatuan bangsa. Segala perkumpulan pandu yang ada
sebelumnya dilebur dan disatukan dalam satu wadah kepanduan yaitu
Kesatuan Kepanduan Indonesia. Dalam rapat yang diadakan di Surakarta
pada tgl. 27-30 Desember 1945 diputuskan pembentukan Pandu Rakyat
Indonesia yang menyatukan segenap pandu yang ada di Indonesia dalam satu
naungan guna mempererat tali persatuan dan kesatuan dalam rangka
mempertahankan kemerdekaan yang masih amat muda pada saat itu.
Beberapa
tahun kemudian situasi politik mulai berubah dan Pandu Rakyat Indonesia
yang dibentuk pada tahun 1945 dirasakan tidak begitu efektif lagi. Oleh
karena itu, pada tahun 1950 Hizbul Wathan mulai diaktifkan lagi. Sejak
itu Hizbul Wathan mulai merata kembali anggota-anggotanya dan
organisasinya secara umum di samping mengembangkannya ke seluruh tanah
air di mana Muhammadiyah ada. Kegiatan tersebut berjalan terus sampai
terbitnya Keputusan Presiden no.238 tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka
yang mengharapkan agar segenap organisasi kepanduan yang ada di
Indonesia meleburkan diri dalam perkumpulan Pramuka.
Dalam
rangka memenuhi seruan tersebut, maka gerakan kepanduan Hizbul Wathan
dalam suratnya tgl. 8 Juni 1961 kepada Panitia Pembentukan Gerakan
Pramuka menyatakan bersedia meleburkan diri dalam perkumpulan Gerakan
Pramuka. Surat tersebut ditandatangani oleh HM. Mawardi dan H. Amin
Luthfi, masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris Majlis Hizbul Wathan
Yogyakarta.
Sebagai
anak dari organisasi Muhammadiyah, Hizbul Wathan terkait erat dengan
cita-cita Muhammadiyah. Hal ini tercermin dari Keputusan Kongres tahun
1938 yang menyatakan bahwa sebagai pemuda Muhammadiyah, anak-anak Hizbul
Wathan harus membiasakan diri mengamalkan pekerjaan dalam Muhammadiyah,
mereka harus siap menolong dan berjasa untuk keperluan Muhammadiyah
khususnya dan agama Islam umumnya.
Keanggotaan
Hizbul Wathan terdiri dari tiga tingkatan. Tingkat I disebut tingkat
athfal yang diperuntukkan bagi anak-anak berumur 6-12 tahun, yang
dibedakan lagi Athfal Melati, Athfal Bintang Satu dan Athfal Bintang
Dua. Tingkat II disebut Pengenal, umur 12-17 tahun, yang terdiri dari
Tangga I kelas III, Tangga II kelas II, Tangga III kelas I. Di atasnya
lagi ada tingkat Penghela, untuk 17 tahun ke atas. Perbedaan yang ada
dalam tingkat ditentukan oleh kemampuan masing-masing anggota dalam
latihan dan pelajaran.
BAB II
KEBANGKITAN HW
A. KEBANGKITAN KEMBALI HW SEBAGAI ORTOM MUHAMMADIYAH
Semenjak
dikumandangkannya dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang membubarkan
konstituante dan menetapkan kembali ke UUD 1945, Bung Karno berhasil
mengambil jalan pintas membabat habis dan mematikan “rasionalitas”,
menggantinya dengan menancapkan tonggak-tonggak sejarah “irasionalitas”
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kelompok-kelompok rasional
dikejar-kejar, ditangkap, disekap dan dipenjarakan tanpa proses hukum
(peradilan).
Hanya
dalam kurun waktu lima tahun (1959-1965) berjalan dia bisa memperoleh
dan memenuhi segala keinginan dan hasrat nafsu pribadinya melalui
cara-cara yang irasional. Dengan berselancar di atas perahu REVOLUSI
BELUM SELESAI, dia kibarkan bendera REVOLUSI TERPIMPIN berlandaskan
MANIPOL USDEK. Dia transit sebentar di dermaga MPRS, menyampaikan pidato
yang memekakkan telinga pendengarnya. Dari pidato yang heboh itu tidak
ada yang mampu memberikan tanggapan, tidak ada interupsi apalgi
interpelasi. Lalu berselancar lagi dengan energi baru sebagai presiden,
mandataris MPRS dan menyandangkan blanket baru berlogo PEMIMPIN BESAR
REVOLUSI.
Sebagai
presiden/mandataris MPRS, Bung Karno yang mengemban amanat penderitaan
rakyat (AMPERA), membutuhkan banyak aksesoris tambahan berupa
simbol-simbol kekuasaan dan gelaran-gelaran guna memperkuat “gezag” juga
sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Tidak usah repot melalui
perdebatan yang a lot di MPRS baginya, memperoleh kedudukan sebagai
pemimpin besar revolusi (Indonesia/PBR).
Hanya
dengan modal pidato ke pidato yang lainnya, dia bisa mendapatkan
kedudukan sebagai panglima tertinggi (PANGTI), sebagai penguasa perang
tertinggi (PEPERTI), sebagai mandataris MPRS sekaligus pemimpin besar
revolusi (PBR).
Tidaklah
sulit bagi Bung Karno memeras MANIPOL (Manifestasi Politik) menjadi
USDEK yang dipidatokan pada tanggal 17 Agustus 1959, memeras Pancasila
menjadi “trisila”, diperas lagi menjadi “ekasila” yang sama dengan
“gotong royong” sebagai pengejawantahan “Sosialisme Indonesia”, kemudian
memeras IPOLEKSOSBUD (Ideologi, politik, sosial, dan budaya) menjadi
NASAKOM (nasionalis, agama, dan komunisme) diaduk-aduk dan diperas
menjadi satu “nasakom”. Terhadap yang satu terakhir ini MUHAMMADIYAH
tidak ikut alias menolak secara halus dengan memberikan gelar kepada
Bung Karno sebagai NAHKODA AGUNG. Menjelang ke puncak kedikdayaannya
pada tahun 1961, menyematkan gelar pada dirinya sebagai PANDU TERTINGGI
atau PRAMUKA TERTINGGI di atas SRI SULTAN HAMENGKUBUWONO Ke-IX sebagai
PANDU AGUNG.
B. PANDU AGUNG
Malam
itu Kamis, 9 Maret 1961 para pemimpin pandu yang mewakili lebih dari 60
organisasi kepanduan di seluruh Indonesia telah hadir di Istana Merdeka
Jakarta, atas panggilan PENGUASA PERANG TERTINGGI SOEKARNO. Pada jam
20.00 WIB Bung Karno menyampaikan pidato (pemberangusan) di hadapan para
pemimpin Pandu Indonesia itu, yang beberapa kalimat pokok (nya) dikutip
di bawah ini:
“Saya
harap agar supaya kepanduan-kepanduan ini organisasi-organisasinya
meleburkan diri dan oleh karena tadi saya berkata “satu”, maka saya
sebagai presiden, panglima tertinggi, PEPERTI, mandataris dari pada
MPRS, bahkan yang oleh MPRS dinamakan pemimpin besar revolusi, akan
melarang sesuatu kepanduan di luar daripada yang satu ini. Nanti kalau
sudah dilebur kepanduan-kepanduan ini, hanya ada satu, di luar yang satu
ini tidak ------ dilarang.
-----------------------------------------------------(selanjutnya)-------------------------------------------------
Tadi
sudah saya katakan kita ini berdiri di atas USDEK. Kepribadian
Indonesia, namanya pun harus satu nama yang sesuai dengan kepribadian
Indonesia. Dan saya kira nama itu nama PRAMUKA adalah baik, jadi nanti,
hanya ada satu organisasi PRAMUKA.
Saya
sebagai presiden sebagai panglima tertinggi, sebagai mandataris,
sebagai PEPERTI, sebagai pemimpin besar revolusi, sebagai yang diberikan
titel kepada saya oleh MPRS, memperintahkan sekarang kepada seluruh
kepanduan Indonesia, untuk meleburkan diri di dalam organisasi baru yang
bernama PRAMUKA. Dengan saya sendiri sebagai PANDU TERTINGGI atau
PRAMUKA TERTINGGI, dengan dibantu oleh Sri Sultan Hamengkubuwono.
Bung
Karno menekankan perintahnya itu agar pada tanggal 17 Agustus 1961,
sudah berbaris PRAMUKA di seluruh wilayah Indonesia. Tidak ada yang
berani membantah karena sebelumnya sudah diumumkan SOB (Staat van oorlog
en beleg) Negara dalam keadaan perang dan darurat perang.
Semuanya
berjalan menuruti kehendak sang pemimpin besar revolusi tidak ada lagi
yang bertanya apalagi menolak ataupun membantah. Dan pada tanggal 20 Mei
1961 dikeluarkan KEPRES No. 238 tahun 1961 tentang GERAKAN PRAMUKA yang
diktum ke-3nya berbunyi:
Ketiga : Badan-badan lain yang sama, yang sama sifatnya atau yang menyerupai perkumpulan GERAKAN PRAMUKA dilarang adanya.
Tidak
ada celah bagi para pemimpin pandu untuk menyampaikan koreksi,
menghindar atau melarikan diri dari sergapan kepres yang melumpuhkan
itu. Walaupun dalam tradisi patriotic ada pilihan “fight or flight”.
Maka meleburlah pandu-pandu dalam PRAMUKA termasuk persyarikatan segera
setelah pidato Bung Karno tanggal 9 Maret 1961 itu, mengeluarkan
maklumat keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomer: 302/IV-a/’61, Hal :
Hizbul Wathan (HW) sesudah adanya perintah peleburan organisasi
kepanduan.
Isi maklumat itu dikutip amarnya sebagai berikut:
Hizbul Wathan adalah merupakan sebagian gerakan dalam organisasi Muhammadiyah.
Pemimpin Pusat Muhammadiyah memutuskan :
1. Mematuhi dan memenuhi perintah tersebut.
2. Mentiadakan organisasi Hizbul Wathan.
3.
Menunjuk saudara-saudara MH. Mawardi, Muh. Sumitro, H. Muh. Luthfie dan
HA. Dwidjo Suparto untuk membereskan segala sesuatunya berkenaan dengan
perintah Negara tersebut. Maklumat ini dikeluarkan pada 15 Maret
1961/28 Syawal 1380 H.
Dalam
menutup pidatonya, Bung Karno mengingatkan kembali kepada para pemimpin
pandu agar setelah ini para pemimpin pandu memalingkan pandangannya ke
arah Sri Sultan Hamengkubuwono selaku Pandu Agung. Namun pandu Hizbul
Wathan seperti yang diamanatkan oleh Maklumat Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, memalingkan dan mengarahkan pandangannya ke arah “KIBLAT”.
Hal ini dilakukan semata-mata karena perintah Allah “…..dan
berpalinglah/tinggalkan orang-orang yang bodoh itu”. Marjinalisasi telah
terjadi, maka GK-HW patuh menjalani siklusnya (metafor) sebagai
“as-habul kahfi” sampai datangnya pertolongan Allah (selama 40 tahun).
C. ZAMAN BERUBAH
Seiring
perjalanan waktu, musim berganti musim dan zaman pun berubah. Rezim
Demokrasi Terpimpin tidak bertahan lama (1961-1965) karena kekuasaan
dijalankan secara otoritarian, tiranik, yang melarang masuknya segala
yang berbau rasionalitas. Kekuasaan USDEK hanya bertumpu pada 3 (tiga)
kekuatan yaitu: Bung Karno sendiri, PKI dan ABRI – dengan Soekarno
sebagai penyeimbang. Ini berarti PKI berhadapan secara diagonal terhadap
ABRI plus kekuatan rasional (Islam). Ketika PKI mendesakkan tuntutannya
untuk membangun “angkatan ke-5” mempersenjatai “buruh dan tani” maka
goyahlah si penyeimbang dan meletuslah tragedi nasional G30S/PKI – maka
ambruklah rezim Soekarno yang kemudian disebut sebagai pemerintah ORDE
LAMA (ORLA). Dan PRAMUKA pun tak sempat digerakkan untuk menopang
gelombang revolusi yang belum selesai menuju masyarakat “sosialis” ala
Indonesia (ala Bung Karno).
Datangnya
musim gugur di akhir September kelabu (1965) – gugurnya para Pahlawan
Revolusi (1945) akibat pengkhianatan G30S/PKI – menyulut jiwa patriotik
kaum Muhammadiyah. Pada tanggal 2 Oktober 1965 Ketua PP Muhammadiyah
Kyai Ahmad Badawi mengumandangkan amanat bela negara dalam satu kalimat
yang singkat-jelas-tegas: – “Menumpas G30S/PKI adalah ibadah !”. Amanat
bela negara yang dimaknai sebagai perintah harian itu membawa angin
segar perubahan.
Musim
semi pun datang menggantikan musim gugur. Kekuasaan berpindah tangan
dari Soekarno ke Soeharto, dari penguasa otoritarian ke tangan penguasa
yang sentralistik – yang kemudian disebut sebagai ORDE BARU (ORBA).
Begitulah perubahan demi perubahan datang silih berganti. Dari tangan
Pak Harto ke tangan B.J. Habibie – lalu berpindha ke tangan KH.
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur – terus berpindah lagi ke tangan
Megawati Soekarno Putri – dan masih di era Reformasi (1998) kekuasan
berpindah tangan lagi ke Soesilo Bambang Yudhoyono yang lebih dikenal
dengan sebutan SBY.
Pertanyaannya
sekarang, selama masa 37 tahun itu “dimanakah PRAMUKA?”. Jawabnya
sangat sederhana. Pramuka dipelihara oleh PENGUASA, merupakan harta
karun – merupakan kekayaan perpolitikan Indonesia. PRAMUKA menyimpan
potensi besar sebagai pemilih pemula untuk memenangkan Pemilihan Umum
bagi Partai Penguasa. Bahkan oleh Partai Politik yang berkuasa sekaran –
dibuatkan “sangkar emas” dalam bentuk Undang-Undang Pramuka.
Berawal
dari Amien Rais Guru Besar UGM Yogyakarta yang mewacanakan perlunya
segera dilakukan suksesi kepemimpinan nasional, di dalam sidang Tanwir
Muhammadiyah tahun 1993 di Surabaya. Bola panas itu terus digelindingkan
tanpa waktu jedah, - membentur dan membakar kisi-kisi korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN). Belenggu Normalisasi Kehidupan Kampus dalam bentuk
Badan Keamanan Kampus dibongkar dan dilepaskan, sehingga mahasiswa
memperoleh kembali kebebasan dan kemerdekaan berkumpul dan berserikat,
mengemukakan gagasan dan pendapat yang eksploratif. Angin panas
reformasi tak dapat dibendung memasuki pintu-pintu istana, meruntuhkan
kekuasan Pak Harto.
Momentum
inilah yang digunakan oleh seorang Pandu Hizbul Wathan –Amien Rais–
mendorong Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk membangkitkan kembali
Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan. Sense of Urgency dan kearifan
intelektual – spiritual para pimpinan Muhammadiyah – memutuskan dan
menetapkan KEBANGKITAN Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan (1999).
Pertolongan Allah sudah datang, setelah terpinggirkannya semua yang
harus dipinggirkan oleh rezim orde baru.
E. DALAM ORTOM MUHAMMADIYAH
URGENCY
– dalam keadaan dan kebutuhan mendesak – tuntutan yang sangat kuat dari
sejarah perjuangan dan pengabdian Persyarikatan Muhammadiyah kepada Ibu
Pertiwi, Hizbul Wathan harus ada dan bangkit kembali. Sejak
didirikannya pada 6 Juni 1918 oleh Sang Pencerah – KH. Ahmad Dahlan –
Pandu Hizbul Wathan diberi ruang yang amat strategis untuk melaksanakan
pendidikan bagi anak-anak, remaja/pemuda dan orang dewasa di LUAR
SEKOLAH dan LUAR RUMAH.
Dari Ensiklopedi Umum – Kanisius 1962/1967 Jakarta Hal. 720 dapat dikutip catatan sebagai berikut:
“MUHAMMADIYAH,
organisasi Islam beraliran maju, didirikan di Yogyakarta oleh Kyai Haji
Ahmad Dahlan (November 1912)”. ….selanjutnya …. pengajaran modern untuk
anak-anak dan perempuan sangat diperhatikan. Gerakan wanitanya
AISYIYAH, berdiri sendiri. Gerakan pemudanya ialah kepanduan HIZBUL
WATHON….selanjutnya, halaman 549….
“Sejak
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pergerakan kepanduan hidup kembali dan
berkembang menanjak. Dalam tahun 1954 tercatat tujuh puluh organisasi
kepanduan dengan jumlah anggota lebih kurang seratus sembilan puluh
empat ribu putra dan empat puluh satu ribu pandu putri. Menurut jumlah
anggotanya Hizbul Wathan menduduki tempat yang paking atas, disusul
berturut-turut oleh Anshor…dst.”
Dari Ensiklopedi Islam – I.B. Van HOEVE Jilid II hal. 119-120 dikutip catatan sebagai berikut:
“HIZBUL
WATHAN (Arab=pembela tanah air), nama barisan pandu Muhammadiyah.
Hizbul Wathan berazaskan: 1) Agama Islam dengan maksud: (a) Memasukkan
pelajaran agama Islam dalam Undang-Undang dan Perjanjian Hizbul Wathan
dan dalam syarat mencapai tingkat kelas; (b) Memperdalam dan meresapkan
jiwa Islam dalam latihan kepanduan dan memajukan amal ibadat
sehari-hari; 2) Ilmu Jiwa, yang dipakai dalam kegiatan belajar dan
bermain; 3) Kemerdekaan dalam bekerja dan latihan. Tujuan dan maksud
Hizbul Wathan adalah membimbing anak-anak dan pemuda supaya kelak
menjadi orang Islam yang berarti.”
“Peranan
Hizbul Wathan banyak terlihat pada sektor penanaman semangat cinta
tanah air kepada para pemuda. Dari benih-benih itu menjelmalah kekuatan
yang bertekad ikut serta dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
Di samping itu, latihan-latihan kepanduan mempunyai andil yang besar
dalam melatih kader-kader bangsa dalam menghadapi kaum kolonial yang
sedang mencengkeramkan kukunya di Indonesia. Latihan-latihan itu
ternyata membuahkan hasil yang baik di kalangan pemuda. Dari barisan
Hizbul Wathan ini muncul sederetan tokoh yang cukup handal, seperti
Sudirman, KH. Dimyati, Surono, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar
Muzakkir, Kasman Singodimedjo, Adam Malik, Suharto, M. Sudirman,
Sunandar Priyosudarmo, dan lain-lain.”
DENGAN
mencermati secuil pendekatan lintasan sejarah perjuangan, pengabdian,
kesetiaan dan ruh cintanya kepada tanah air – menempatkan Hizbul Wathan
bukan sebagai “pandu pohon pisang”, yang sekali berbuah maka selesailah
tugasnya.
Sekali
pandu tetap memandu sepanjang hayatnya. Semakin maju peradaban, semakin
kompleks masalah yang dihadapinya. Ruang pengabdian yang berupa MAJLIS
tidak lagi mencukupi untuk mengelola wilayah pendidikan di luar sekolah
dan di laur rumah – di alam terbuka sebagai kampus kehidupan sosial. Dan
oleh sebab itulah kehadiran/kebangkitan HW sebagai organisasi otonom
(ORTOM) dalam Muhammadiyah harus di “follow up” tidak untuk
diperdebatkan dari sisi manapun.
“Follow
UP”, sebuah kata yang cukup populer terkait dengan pelaksanaan suatu
keputusan. Follow up mengandung makna perintah melaksanakan keputusan
yang telah ditetapkan, mengikuti terus menerus perkembangannya,
mengidentifikasi kendala-kendala yang menyertainya dan memanfaatkan
kemungkinan-kemungkinan sehingga terwujudnya “keputusan” itu.
Hizbul
Wathan mengemban perintah melaksanakan keputusan persyarikatan yang
menetapkan sebagai ORTOM dengan pikulan beban dan tanggungjawab yang
amat berat – serta tanggungan resiko finansial dan nonfinansial. Dalam
melaksanakan keputusan itu dengan patrol system (beregu/berjamaah)
melangkahkan derap kakinya, menjejakkan kedua kakinya di atas “tanah
realitas” sosial. Dari rekam penjelajahan di atas realitas sosial itu
ditemukan berbagai “ketimpangan” – “Iritan” – kalau tidak boleh
dikatakan sebagai kerusakan, antara lain:
1.
Pendidikan di “rumah” bagi generasi bangsa usia sekolah tidak
terselenggara dengan baik – terabaikan karena kedua orang tua sibuk
mencari nafkah. Atau bahkan kedua orang tua sibuk di luar rumah mencari
kekayaan semata-mata ingin jadi orang kaya.
2.
Lembaga-lembaga pendidikan formal (sekolah) hanya bisa transfer of
knowledge. Ketika kebudayaan dipisahkan dari pendidikan di era reformasi
ini, pendidikan nasional kita kehilangan arah bahkan hanyut ke arah
globalisasi. Bersamaan dengan itu UNAS (Ujian Nasional) yang terus
dipertahankan telah melahirkan perjokian dan kebiasaan nyontek yang
mematikan daya kreativitas.
3.
Rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) menyebabkan iritan pada
dunia pendidikan nasional, membuka celah diskriminasi.
Itulah
sedikit gambaran kerusakan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
di sektor pendidikan, belum di sektor ekonomi, politik dan pelayanan
sosial yang menyuburkan korupsi berjamaah dan perusakan ekologis yang
sangat parah (urgent). Manusia Indonesia dewasa ini sedang terjebak
dalam krisis multi dimensional yang nampak ke permukaan dalam berbagai
gejolak pertikaian antar suku di Papua, pertarungan geng motor di
Jakarta, pertarungan karena sengketa tanah di Sumatera Selatan dan last
but not least ambruknya wibawa sosial politisi dan partai-partai politik
yang digantikan oleh KPKI terhadap keadaan seperti ini – kepada pandu
Hizbul Wathan kita tentu tidak bisa berkata lain kecuali “follow up”.
G. RESUME
Para
pemimpin negeri kita sampai sekarang masih terus mengarahkan
pandangannya ke depan, mengejar mimpi terbentuknya modern state, tanpa
mau sesekali menoleh dan mengarahkan pandangannya ke belakang. Padahal
di belakang sana – di balik gemerlapnya pembangunan fisik berkat
kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, tidak kurang dari 30 (tiga
puluh) juta penduduk negeri ini terjerembab dalam lembah kemiskinan.
Mereka itu adalah kaum buruh, petani dan nelayan. Hal ini terjadi karena
sektor pendidikan harus tunduk pada keangkuhan kebijakan publik. Maka
catatan yang bisa saya sajikan adalah sebagai berikut:
1.
Singsingkan lengan baju, bekerja dengan sungguh-sungguh menetapi
JANJI PANDU – berbakti, mengabdi dan mengawal ibu pertiwi tanpa henti.
2.
Pandu itu adalah gerakan, maka bersegeralah bergerak ke wilayah
pendidikan di luar sekolah dan rumah. Arahkan anak-anak bangsa ini,
dengan model pendidikan yang bertumpu pada masyarakat dan budaya
Indonesia (kurang lebih 90% masyarakat Indonesia beragama Islam) di alam
terbuka agar tidak hanyut dalam arus globalisasi.
3.
Pendidikan non formal di alam terbuka dilakukan untuk menanamkan
kepercayaan dalam jiwa anak-anak bangsa bahwa keadaan di negeri ini
dapat diperbaiki. Setiap insan PANDU harus yakin dan dapat meyakinkan
rakyat bahwa nasib kita di tangan kita sendiri. Keyakinan ini bukanlah
keyakinan kosong yang didorong oleh mimpi-mimpi palsu. Kita harus yakin
benar, negeri ini mempunyai potensi besar menunggu dikerahkan bagi
pembangunan kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat.
4.
PANDU tidak boleh memusuhi pemerintah ketika melihat
kelemahan-kelemahan, kekurang-arifan dan kealphaan dalam pimpinan
nasional yang baru. Sebab di balik itu terdapat potensi yang sedang
berkembang untuk memberikan pimpinan yang penuh bertanggungjawab dan
penuh pengabdian untuk kemajuan bangsa.
5.
Hizbul Wathan bukan musuh Pramuka, tapi “teman sejawat” dalam
pengabdian cinta tanah air. Pendidikan formal di alam terbuka, secara
bersama dan bahu membahu memandu rakyat agar dapat menumbuhkan
inisiatif-inisiatif, inspirasi-inspirasi, sikap rela berkorban serta
tanggungjawab yang diperlukan untuk mengubah nasib bangsa.
6.
Dalam menghadapi dan memanage berbagai gejolak kehidupan bermasyarakat
dan berbangsa, mengesampingkan unsur POAC dan kembali ke unsur lama NTNT
/ NKNK (Niat Tandang Niat Tandang / Niat Kerja Niat Kerja).
7.
Perkuat pembangunan “Qobilah” di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM)
karena kita sadar bahwa dalam menyempurnakan kehidupannya, manusia terus
menerus mengasah akalnya di Perguruan TInggi untuk menciptakan
pengetahuan ilmiah baru di samping yang sudah ada. Kepada para calon
intelektual itu kita ratakan “Kode Kehormatan Pandu HW” sebagai tata
nilai (budaya) yang dipegang teguh.
H. PENUTUP
Allah
Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Mengetahui dan Maha Adil,
menciptakan langit dan bumi dan segala isi yang terkandung di dalamnya,
adalah untuk memenuhi segala kebutuhan yang wajar umat manusia. Manusia
tidak boleh menggunakannya secara melampaui batas. Apa yang tersedia di
alam raya ini, tidak untuk memuaskan nafsu keserakahan manusia. Itulah
sebabnya Hizbul Wathan terus bekerja, berlomba-lomba dalam berbuat
kebajikan.
Fastabiqul Khairat
Refrensi
- http://hizbulwathan.or.id/component/content/article/75-kebangkitan-hw-dan-sejarah-kepanduan-di-indonesia.html
- Buku Kenang-kenangan HW, 1961
- Ensiklopedi Umum, Kanisius, 1967-1973 3. Ensiklopedi Islam, Intermedia, 1993
0 komentar:
Posting Komentar